Dari Mana Asal Itik Cihateup?
Sesuai dengan namanya, itik ini berasal dari desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik Cihateup disebut sebagai itik gunung, lantaran tempat berkembang itik ini berada pada ketinggian 378 m dari permukaan bahari (dpl) yg merupakan dataran tinggi, dengan udara yg dingin. Itik ini berkembang juga di daerah-daerah di sekitar Tasikmalaya, menyerupai di tempat Garut.Penampilannya sedikit berbeda dengan itik-itik dari tempat lain. Itik cihateup asal Rajapolah, Tasikmalaya Jawa Barat ini mempunyai kekhasan leher yg lebih jangkung ketimbang itik-itik orisinil Indonesia lainnya. Dan itik cihateup mempunyai pembawaan lebih tenang, saat dihampiri tidak menjadikan bunyi yg berisik. Artinya, itik jenis ini lebih tidak gampang stres akhir faktor eksternal.
Berbagai macam jenis Itik yg ada di Indonesia merupakan itik pendatang yg mengalami domestikasi, dan merupakan keturunan dari Indian Runner.Ciri khas itik Indian Runner yakni postur tubuhnya yg hampir tegak, dan jika dilihat dari arah depan terlihat menyerupai botol anggur, paruh dan kakinya berwarna hitam. Menurut Hetzel (1986) itik lokal yg ada, sudah mengalami pembiasaan dengan baik pada lingkungan dimana mereka dikembangkan.
Muzani (2005) melaporkan bahwa itik Cihateup mempunyai beberapa ukuran tubuh menyerupai ukuran lingkar dada yg lebih besar dibandingkan itik Cirebon dan Mojosari dan itu sanggup dijadikan indikasi bahwa itik Cihateup mempunyai potensi sebagai penghasil daging. Itik Cihateup jantan umur potong 8 ahad sudah sanggup menghasilkan bobot potong 1323,87 g dengan bobot karkas 812,13 g (61,36%). Bagian yg berdaging (paha dan dada) itik Cihateup sanggup mencapai 27,14% dan 24,97%, belahan paha itik Cihateup lebih besar dibandingkan dengan itik Alabio (25,22%) (Matitaputty 2011).Itik-itik lokal Indonesia merupakan itik tipe petelur dan mempunyai gejala sama dengan Indian runner, bentuk tubuh ramping menyerupai botol dan berjalan tegak (Gunawan 1988; Setioko et al 1985). Beberapa jenis itik lokal yg dipelihara masyarakat di Pulau Jawa menyerupai itik Tegal, itik Mojosari, itik Magelang, itik Cirebon, dan itik Cihateup. Sementara di luar Pulau Jawa menyerupai Kalimantan ada itik Alabio, di Sumatera ada itik pegagan, di Bali ada itik Bali, dan masih banyak lagi ternak itik yg tersebar di wilayah Nusantara tercinta ini.
Sistem pemeliharaan yg berbeda-beda di masing-masing wilayah asalnya, dan juga diduga sudah terjadi diferensiasi genetik, yg mempunyai gejala fisik dengan tingkat produksi yg berbeda-beda pula, mem.buat itik lokal yg ada di Nusantara ini sangat beragam. Setiap bangsa itik lokal mempunyai karakteristik mofometrik berbeda, yg diperlihatkan dengan ukuran dan bentuk tubuh yg berbeda satu dengan yg lain. Terbentuknya karakteristik fenotipik ini kemungkinan disebabkan oleh seleksi alam yg dialami itik di tempat asalnya dalam waktu yg cukup cukup lama.
Itik lokal yg dipelihara peternak mempunyai performa beragam, dan umumnya belum mempunyai gejala yg bsaya. Itik dari tiap lokasi sanggup dibedakan, yg berkhasiat sebagai pemikiran dalam pembentukan bangsa itik murni, maupun sintetis atau persilangan.
Karakteristik Itik Cihateup (Anas platyrynchos javanica)
Untuk mempopulerkan dan meningkatkan manfaat itik Cihateup, maka perlu diketahui karakteristik biologisnya biar sanggup dijadikan pemikiran dalam berbudidaya.
Itik Cihateup betina mempunyai potensi sebagai itik petelur, dengan kemampuan produksi sekitar 200 butir/tahun, dan daya tetas telur 65.1%. Itik Cihateup jantan berpotensi sebagai penghasil daging lantaran kemampuan pertumbuhan bobot tubuh yg baik.
Itik Cihateup mempunyai kemiripan dengan itik-itik lainnya yg ada di Jawa, menyerupai itik Kerawang, itik Cirebon, maupun itik Tegal. Walaupun demikian, setips genetik terdapat keragaman di antara itik-itik tersebut (Muzani 2005). Lebih dekatnya kesamaan sifat antara itik Cihateup dengan beberapa itik disekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah dibandingkan dengan itik Alabio, lantaran dalam denogram jarak genetika antara itik Cihateup dengan itik-itik lokal yg berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih erat dibandingkan dengan itik Alabio (Hetzel 1985). Menurut Brahmantiyo et al. (2003) itik Cihateup asal Jawa Barat mempunyai korelasi kekerabatan agak jauh dengan itik Bali, itik Alabio dan Khaki Campbell.
Wulandari (2005) melaporkan bahwa panjang leher dan panjang tulang sayap merupakan pentanda utama untuk ukuran tubuh pada itik Cihateup jantan maupun betina, dengan adanya korelasi konkret antara panjang leher, panjang tulang sayap dan ukuran tubuh. Potensi dan pengembangan itik Cihateup masih terbuka luas untuk dikaji lebih jauh, dan sangat diharapkan bagi Pemda Jawa Barat untuk sanggup mengembangan unggas air ini, lantaran mempunyai potensi sebagai itik petelur unggul bagi itik betina dan itik potong bagi itik jantan, supaya itik Cihateup lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia. Oleh kesudahannya diharapkan info yg lebih mendalam dan sayarat wacana itik Cihateup itu sendiri baik dari segi bibit, pakan dan manajemen, dan penyakit dan pemasaran. Selain itu untuk menjadikan itik Cihateup sebagai galur gres sama menyerupai Alabio asal Kalimantan Selatan, diharapkan data-data pendukung menyerupai populasi itik Ciahteup itu sendiri jumlahnya ada berapa banyak, ketersediaan bibit yg berkualitas dan kontinyu, berapa banyak kelompok peternak yg membudidaya itik ini, dan harus tahu karakteristik itik menyerupai warna bulu untuk jantan dan betina, ukuran tubuh jantan dan betina, produksi dan reproduksi, dan administrasi pemeliharaan bahkan yg mentandakan itik Cihateup setips spesifik dari itik yg lain dengan melsayakan setips genetik menyerupai polimorfisme protein darah, DNA dll. Informasi ini sangat berkhasiat bagi pengembangan itik Cihateup ke depan dalam upaya untuk menjadikan itik Cihateup sebagai sumberdaya genetik unggas air orisinil Jawa Barat yg perlu dilestarikan dan dikembangkan setips berkelanjutan.
Itik yg ada di Indonesia merupakan itik pendatang yg mengalami domestikasi, dan merupakan keturunan dari Indian Runner.Ciri khas itik Indian Runner yakni postur tubuhnya yg hampir tegak, dan jika dilihat dari arah depan terlihat menyerupai botol anggur, paruh dan kakinya berwarna hitam. Menurut Hetzel (1986) itik lokal yg ada, sudah mengalami pembiasaan dengan baik pada lingkungan dimana mereka dikembangkan.
Itik-itik lokal Indonesia merupakan itik tipe petelur dan mempunyai gejala sama dengan Indian runner, bentuk tubuh ramping menyerupai botol dan berjalan tegak (Gunawan 1988; Setioko et al 1985). Beberapa jenis itik lokal yg dipelihara masyarakat di Pulau Jawa menyerupai itik Tegal, itik Mojosari, itik Magelang, itik Cirebon, dan itik Cihateup. Sementara di luar Pulau Jawa menyerupai Kalimantan ada itik Alabio, di Sumatera ada itik pegagan, di Bali ada itik Bali, dan masih banyak lagi ternak itik yg tersebar di wilayah Nusantara tercinta ini.
Sistem pemeliharaan yg berbeda-beda di masing-masing wilayah asalnya, dan juga diduga sudah terjadi diferensiasi genetik, yg mempunyai gejala fisik dengan tingkat produksi yg berbeda-beda pula, mem.buat itik lokal yg ada di Nusantara ini sangat beragam. Setiap bangsa itik lokal mempunyai karakteristik mofometrik berbeda, yg diperlihatkan dengan ukuran dan bentuk tubuh yg berbeda satu dengan yg lain. Terbentuknya karakteristik fenotipik ini kemungkinan disebabkan oleh seleksi alam yg dialami itik di tempat asalnya dalam waktu yg cukup cukup lama.
Itik lokal yg dipelihara peternak mempunyai performa beragam, dan umumnya belum mempunyai gejala yg bsaya. Itik dari tiap lokasi sanggup dibedakan, yg berkhasiat sebagai pemikiran dalam pembentukan bangsa itik murni, maupun sintetis atau persilangan.
Karakteristik Itik Cihateup (Anas platyrynchos javanica)
Sesuai dengan namanya, itik ini berasal dari desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik Cihateup disebut sebagai itik gunung, lantaran tempat berkembang itik ini berada pada ketinggian 378 m dari permukaan bahari (dpl) yg merupakan dataran tinggi, dengan udara yg dingin. Itik ini berkembang juga di daerah-daerah di sekitar Tasikmalaya, menyerupai di tempat Garut. Untuk mempopulerkan dan meningkatkan manfaat itik Cihateup, maka perlu diketahui karakteristik biologisnya biar sanggup dijadikan pemikiran dalam berbudidaya.
Itik Cihateup betina mempunyai potensi sebagai itik petelur, dengan kemampuan produksi sekitar 200 butir/tahun, dan daya tetas telur 65.1%. Itik Cihateup jantan berpotensi sebagai penghasil daging lantaran kemampuan pertumbuhan bobot tubuh yg baik.
Itik Cihateup mempunyai kemiripan dengan itik-itik lainnya yg ada di Jawa, menyerupai itik Kerawang, itik Cirebon, maupun itik Tegal. Walaupun demikian, setips genetik terdapat keragaman di antara itik-itik tersebut (Muzani 2005). Lebih dekatnya kesamaan sifat antara itik Cihateup dengan beberapa itik disekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah dibandingkan dengan itik Alabio, lantaran dalam denogram jarak genetika antara itik Cihateup dengan itik-itik lokal yg berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih erat dibandingkan dengan itik Alabio (Hetzel 1985). Menurut Brahmantiyo et al. (2003) itik Cihateup asal Jawa Barat mempunyai korelasi kekerabatan agak jauh dengan itik Bali, itik Alabio dan Khaki Campbell.
Muzani (2005) melaporkan bahwa itik Cihateup mempunyai beberapa ukuran tubuh menyerupai ukuran lingkar dada yg lebih besar dibandingkan itik Cirebon dan Mojosari dan itu sanggup dijadikan indikasi bahwa itik Cihateup mempunyai potensi sebagai penghasil daging. Itik Cihateup jantan umur potong 8 ahad sudah sanggup menghasilkan bobot potong 1323,87 g dengan bobot karkas 812,13 g (61,36%). Bagian yg berdaging (paha dan dada) itik Cihateup sanggup mencapai 27,14% dan 24,97%, belahan paha itik Cihateup lebih besar dibandingkan dengan itik Alabio (25,22%) (Matitaputty 2011).
Wulandari (2005) melaporkan bahwa panjang leher dan panjang tulang sayap merupakan pentanda utama untuk ukuran tubuh pada itik Cihateup jantan maupun betina, dengan adanya korelasi konkret antara panjang leher, panjang tulang sayap dan ukuran tubuh. Potensi dan pengembangan itik Cihateup masih terbuka luas untuk dikaji lebih jauh, dan sangat diharapkan bagi Pemda Jawa Barat untuk sanggup mengembangan unggas air ini, lantaran mempunyai potensi sebagai itik petelur unggul bagi itik betina dan itik potong bagi itik jantan, supaya itik Cihateup lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia. Oleh kesudahannya diharapkan info yg lebih mendalam dan sayarat wacana itik Cihateup itu sendiri baik dari segi bibit, pakan dan manajemen, dan penyakit dan pemasaran. Selain itu untuk menjadikan itik Cihateup sebagai galur gres sama menyerupai Alabio asal Kalimantan Selatan, diharapkan data-data pendukung menyerupai populasi itik Ciahteup itu sendiri jumlahnya ada berapa banyak, ketersediaan bibit yg berkualitas dan kontinyu, berapa banyak kelompok peternak yg membudidaya itik ini, dan harus tahu karakteristik itik menyerupai warna bulu untuk jantan dan betina, ukuran tubuh jantan dan betina, produksi dan reproduksi, dan administrasi pemeliharaan bahkan yg mentandakan itik Cihateup setips spesifik dari itik yg lain dengan melsayakan setips genetik menyerupai polimorfisme protein darah, DNA dll. Informasi ini sangat berkhasiat bagi pengembangan itik Cihateup ke depan dalam upaya untuk menjadikan itik Cihateup sebagai sumberdaya genetik unggas air orisinil Jawa Barat yg perlu dilestarikan dan dikembangkan setips berkelanjutan.
Sumber : www.poultryindonesia.com dan trobos.com.