Saturday, June 8, 2019

Kenapa Sangkar Dan Ayam Aku Dibakar, Pak?

 Pertanyaan ini dilontarkan oleh salah satu penerima penanggulangan penyakit “zoonosis” kemarin. Pak Mulyono, pemotong ayam yang juga memelihara ayam kampung dirumahnya,” setiap kali ada informasi Flu Burung sangkar dan ayam di daerah saya dibakar, padahal yang memelihara ayam kampung cuma orang kecil pak – untuk tabungan lebaran. Banyak orang nggak punya (uang) yang berharap bisa makan daging ayam waktu lebaran sebab mereka jarang makan daging (ayam)”.

pemusnaan ayam dengan cara dibakar

Saya membayangkan berapa banyak peneliti, pelopor penyakit “zoonosis”, pakar penyakit influenza, pakar penyakit hewan, maupun para penggiat organisasi kesehatan jagat raya yang pernah makan ayam. Mungkin mereka terlalu sering makan daging ayam dari hidangan yang disediakan di hotel-hotel glamor pada setiap workshop bertema “Flu Burung” bahkan mungkin hingga pada titik jenuh makan daging ayam sebab terlalu banyaknya rapat dan workshop, mulai dari koordinasi, pengendalian, pemberantasan hingga pemetaan penyakit Flu Burung.

Para pemelihara ayam yang memelihara ayam kampung tidak bisa makan daging ayam, sementara para pakar jenius menyarankan ayam-ayam kampung plasma nutfah Indonesia dibakar sambil kekenyangan makan daging ayam dikala rapat “ilmiah”. Dua buah insiden paradox yang merupakan kenyataan sehari-hari di negara kita tercinta. Para pemelihara ayam kampung (bukan peternak, sebab sektor 1&2 tidak pernah diurusi pemerintah) dari golongan menengah ke bawah yang memelihara ayam sebagai cadangan makanan harus merelakan ayam tabungannya dibakar, sebab pendapat “ilmiah” para pakar influenza bahwa wabah Flu Burung bisa menghabisi semua insan sehingga ayam di lokasi wabah harus dimusnahkan. Sebuah pesta pora “ilmiah” di atas penderitaan rakyat kecil.

Bagi para pakar influenza ini teori “kemungkinan mutasi H5N1” merupakan gagasan “ilmiah” yang cemerlang - yang bisa mengorbitkan siapapun asal bisa menjalankan uji PCR (apalagi sequencing) menjadi bintang selebriti dunia sains di Indonesia. Sebuah gagasan menurut teori probabilitas statistika berwujud phylogenetic tree (yang bergotong-royong bisa diatur markernya sesuka hati- serta menghasilkan clade sesuka hati) dan dinamika (kemungkinan) mutasi virus yang tidak akan berakhir (dengan biaya 200-500 juta rupiah /tahun). Sebuah gagasan “ilmiah” yang mengabaikan fakta bahwa hingga detik ini tidak ada pekerja sangkar /technical service obat / dokter binatang /penjual ayam /petugas surveillance Flu Burung / peneliti/ pakar influenza dan bio terorisme yang meninggal sebab terlalu banyak berinteraksi dengan virus H5N1 pada dikala wabah terjadi. Bahkan tidak pernah ada klarifikasi ilmiah yang dilontarkan oleh para pakar influenza mengenai anomali kenapa semua insan di Indonesia tidak mati sebab terpapar virus H5N1 sedangkan dikala ini tidak ada satupun wilayah di Indonesia yang bebas Flu Burung.

Saya mencoba menjelaskan kepada Pak Mulyono bahwa bergotong-royong virus H5N1, H1N1, H7N1 dan virus influenza apapun mempunyai selubung lipoprotein yang sanggup mati dalam waktu 3 menit jikalau terkena larutan pemutih pakaian yang diencerkan dengan air dengan perbandingan 1:9 (tanpa perlu menyebut zat aktif sodium hipoklorit semoga kelihatan seperti ilmiah). Sehingga jikalau ada wabah ayam yang sudah terlanjur mati ya bisa dibakar, ayam yg hidup diberi terapi suportif untuk meningkatkan sistem imun dengan diberi vitamin dan gula merah, sementara sangkar ayam sanggup dibersihkan dengan sabun serta disemprot dengan larutan 10% pemutih pakaian.

 Jika kebetulan masyarakat sekitar mempunyai uang bisa patungan untuk membeli vaksin Flu Burung untuk disuntikkan ke ayam kampung mereka sehingga jikalau ada wabah ayam kampung mereka bisa terselamatkan. Saya juga mencoba menjelaskan mengenai fakta bahwa semenjak 2003 belum ada satupun dari para pemotong ayam dan pemelihara ayam yang meninggal sedangkan setiap hari mereka terpapar virus H5N1.

Pak Mulyono kelihatan bangga mendengar klarifikasi saya dan kemudian melontarkan pertanyaan yang saya takuti. “Kalau penyelesaian nya simpel kayak gitu terus kenapa sangkar ayam dan ayam saya dibakar pak ?”. Saya hanya tersenyum kecut, saya mustahil membuktikan bahwa gagasan desinfeksi sodium hipoklorit sama sekali tidak digubris dikala rapat koordinasi wabah Flu Burung, atau dikala hasil penelitian sensitifitas virus H5N1 terhadap majemuk desinfektan malah dianggap sebagai ancaman.
 Saya hanya berharap suatu dikala bisa menerima kesempatan membantu Pak Mulyono jikalau ada wabah flu Burung di sekitar rumahnya sehingga sisa ayam kampung dan sangkar ayam miliknya tidak perlu dibakar (lagi) hanya sekedar untuk melegalkan delusi tanpa fakta bahwa Flu Burung menular ke manusia.

sumber https://www.facebook.com/notes/moh-indro-cahyono/kenapa-kandang-dan-ayam-saya-dibakar-pak/10154181040430625/

Kenapa Sangkar Dan Ayam Aku Dibakar, Pak? Rating: 4.5 Diposkan Oleh: abp29