Monday, April 22, 2019
Mengenal Jenis Sapi Limpo Dan Simpo, Apa Ciri-Cirinya?
Ciri-tanda Sapi Hasil Persilangan, Sapi Limousin - PO (Limpo) dan Simental - PO (Simpo)
Sekilas Sapi Limousin. Sapi Limousin mempunyai tanda berwarna hitam bervariasi dengan warna merah bata dan putih, terdapat warna putih pada moncong kepalanya, tubuh berukuran besar dan mempunyai tingkat produksi yg baik. Merupakan sapi bangsa Bos taurus yg dikembangkan pertama kali di Prancis. Sapi ini merupakan tipe sapi pedaging. Setips genetik, sapi limousin ialah sapi potong yg berasal dari wilayah beriklim dingin, bertipe besar, mempunyai volume rumen yg besar, bisa menambah konsumsi lebih tinggi di luar kebutuhan yg sebenarnya, dan mempunyai metabolisme yg cepat sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yg lebih teratur. Sapi limousin murni sulit ditemukan di Indonesia alasannya ialah sudah mengalami persilangan dengan sapi lokal.
Kebanyakan sapi limousin yg ada di Indonesia ialah limousin cross yg sudah disilangkan dengan sapi lokal. Hadi dan Ilham (2002) menambahkanbahwa salah satu jenis sapi impor yg didatangkan ke Indonesia ialah sapi Limousin, yg mempunyai keunggulan dibanding sapi lokal yaitu pertambahan bobot tubuh harian (PBBH) berkisar antara 0,80-1,60 kg/hari, konversi pakan tinggi dan komposisi karkas tinggi dengan komponen tulang lebih rendah.
Sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi ongole merupakan keturunan sapi zebu dari India yg mulai diternakan setips murni di pulau Sumba, sehingga dikenal dengan nama sapi “Sumba” ongole. Ciri-tanda sapi ongole antara lain berpunuk besar, mempunyai lipatan kulit di bawah leher dan perut, indera pendengaran panjang dan menggantung, kepala relatif pendek dengan posisi melengkung, mata besar menawarkan ketenangan, dan bulunya berwarna putih.
Hasil persilangan sapi ongole dengan sapi lokal Indonesia (sapi Jawa) menghasilkan sapi yg menyerupai dengan sapi ongole dan dikenal dengan nama sapi PO (peranakan ongole). Sapi PO murni sudah sulit ditemukan, alasannya ialah sudah banyak disilangkan dengan sapi brahman. Ukuran tubuh sapi PO lebih kecil dibandingkan dengan sapi ongole. Punuk dan gelambir juga kelihatan lebih kecil atau sangat sedikit. Warna bulunya bervariasi, tetapi kebanyakan berwarna putih atau putih keabu-abuan. Sapi PO populer sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, bisa menyesuaikan diri terhadap banyak sekali kondisi lingkungan, dan cepat bereproduksi.
Tinggi sapi ongole jantan berkisar 150 cm dengan berat tubuh mencapai 600 Kg. Sementara itu, sapi betina mempunyai tinggi tubuh berkisar 135 cm dan berat tubuh 450 Kg. Pertambahan bobot tubuh sapi ongole sanggup mencapai 0,9 Kg per hari dengan kualitas karkas mencapai 45 – 58%. Rasio daging dengan tulangnya ialah 1 : 423, sapi ongole termasuk lambat untuk mencapai dewasa, yaitu sekitar umur 4 – 5 tahun. Untuk sapi PO, bobot tubuh rataan sekitar 200 – 350 kg dengan pertambahan bobot tubuh 0,6 – 0,8 Kg per hari bila dipelihara dengan baik.
Pada sapi PO, warna bulu tubuh putih abu-abu gres muncul ketika lepas sapih dan menjadi semakin besar kemungkinan munculnya pada dikala umur yearling. Cirinya berwarna putih dengan warna hitam di beberapa cuilan tubuh, bergelambir dan berpunuk, dan daya adaptasinya baik. Jenis ini sudah disilangkan dengan sapi Madura, keturunannya disebut Peranakan Ongole (PO) tandanya sama dengan sapi Ongole tetapi kemampuan produksinya lebih rendah.
Sapi Limpo (Limousin Peranakan Ongole)
Sapi Limpo (Limousin PO)
Persilangan sapi limousin dengan sapi ongole dikenal dengan nama sapi limousin ongole (limpo). Sapi limpo mempunyai tanda tidak berpunuk dan tidak bergelambir, dan warna bulunya hanya cokelat renta kehitaman dan cokelat muda.
Pada sapi LIMPO (Limousin cross dengan PO), variasi warna bulu badannya hanya coklat renta dan coklat putih. Pada sapi LIMPO, warna bulu tubuh yg mayoritas dari lahir hingga yearling ialah coklat tua. Warna coklat putih yg sering muncul dikala lahir, menjadi lebih sering muncul pada dikala sapi mencapai umur yearling. Dalam jumlah kecil, ada sapi LIMPO yg dikala lahir mempunyai warna bulu tubuh putih (seperti PO), tetapi semua nya akan menjelma coklat putih sehabis sapi mencapai umur yearling.
Terjadinya variasi dan perubahan terhadap warna bulu tubuh sapi silangan ini, menjadi pertimbangan penting dalam ikut memilih sebaiknya sapi silangan yg mana, SIMPO atau LIMPO, yg cocok dikembangkan di daerah DR (dataran rendah) atau DT (dataran tinggi), alasannya ialah Gebremedhin (1984) dan Robertshaw (1984) menyatakan bahwa warna bulu sapi sangat besar lengan berkuasa pada prosedur pengaturan temperatur tubuh sapi hubungannya dengan imbas panas lingkungan ; sapi yg bulunya cenderung ke arah warna gelap, lebih cocok dikembangkan di daerah berintensitas sinar matahari lebih rendah.
Sapi Limousin Peranakan Ongole (LIMPO) merupakan sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Limousin dengan induk sapi PO, kebanyakan sapi-sapi ini merupakan hasil perkawinan IB, sapi LIMPO sebagai turunan sapi tipe besar sehingga setips genetic mempunyai laju pertumbuhan yg lebih besar dan lebih cepat dibanding sapi PO (Sarwono dan Arianto, 2003). Hastuti (2007) menyatakan bahwa karakteristik eksterior sapi LIMPO ialah warna sekitar mata bervariasi coklat hingga hitam, moncong warna hitam dengan sebagian kecil berwarna merah.
Seperti sudah diketahui bahwa Sapi Limpo dan Simpo ialah abreviasi dari Simmental-PO dan Limousin-PO, keduanya merupakan sapi hasil kawin silang (crossbreeding) antara sapi PO dengan Simmental ataupun Limousin. Sapi-sapi ini belakangan sering kita temui alasannya ialah sangat disukai peternak. Peternak lebih menyukai sapi jenis ini dibanding sapi lokal (sapi PO) alasannya ialah berat lahir yg lebih besar, pertumbuhan lebih cepat, pembiasaan baik pada lingkungan dan pakan yg sederhana, ukuran tubuh cukup umur lebih besar dan penampilan yg eksotik.
Alasan ini menjadikan nilai jual yg lebih tinggi, pendapatan peternak lebih besar, dan sanggup menjadi pujian peternak. Pada dasarnya sapi hasil persilangan ini (Simpo dan Limpo) diperuntukkan sebagai sapi final stock (sapi yg dipersiapkan untuk eksklusif dipotong). Namun, pemanfaatan sapi-sapi ini sebagai indukan menimbulkan beberapa fenomena yg disadari atau tidak, justru merugikan peternak. Selain juga menimbulkan adanya bahaya kepunahan bangsa sapi lokal.
Kinerja dan Anomali Reproduksi Sapi Betina Crossbreeding
Aplikasi IB memakai bibit Bos taurus (Simmental dan Limousin) pada indukan sapi jenis Simpo atau Limpo menjadikan penurunan kinerja reproduksi, antara lain semakin menurunnya angka konsepsi (conception rate = CR) dan semakin meningkatnya jumlah inseminasi per kebuntingan (services per conception = S/C) Pengamatan Putro (2008) pada kelompok sapi PO dan silangan penerima IB di Daerah spesial Yogyakarta menawarkan hal tersebut (Tabel 1).
Tabel 1. Kinerja reproduksi sapi PO dan silangan PO-Simmental penerima IB
Kinerja Reproduksi PO F1 F2 F3 F4
Angka konsepsi (CR) 80% 68% 60% 39% 34%
Inseminasi per konsepsi (S/C) 1,20 1,90 2,30 3,40 3,50
Endometritis 8% 17% 22% 31% 28%
Repeat breeding (kawin berulang) 28% 38% 47% 62% 68%
Dari tabel diatas sanggup diketahui bahwa angka konsepsi atau kemungkinan terjadinya kebuntingan sapi Simpo bila dikawinkan dengan bibit Simmental semakin menurun dan lebih rendah dibanding sapi lokal (sapi PO). Begitu juga kemungkinan keberhasilan IB {Inseminasi per konsepsi (S/C)} pada Simpo keturunan keempat mencapai angka kemungkinan 1 kali keberhasilan sehabis lebih dari 3 kali IB.
Pada peternakan sapi rakyat, pemeliharaan tradisional dan pakan yg kurang memadai dari segi kualitas maupun kuantitasnya agaknya merupakan penyebab utama menurunnya kinerja reproduksi ini. Disamping itu, persoalan pakan sangat menghipnotis skor kondisi tubuh (SKT) yg umumnya lebih rendah dari optimum bagi proses reproduksi (3,0-3,5, dari skor 1,0-5,0). Rerata SKT sapi silangan yg relatif rendah ini sangat besar lengan berkuasa pada kinerja reproduksi. Penurunan kinerja reproduksi ini oleh Diwyanto (2002) diduga sebagai akhir adanya imbas interaksi lingkungan genetik, di samping kemungkinan sudah banyak terjadi inbreeding akhir persilangan yg tidak terpola dan tidak tercatat. Dari pengamatan pedet-pedet hasil IB, perkawinan silang akan banyak memunculkan sifat-sifat gen resesif, antara lain berbentuk ajal pedet dalam kandungan, lahir mati (stillbirth), kasus-kasus teratologi menyerupai tidak mempunyai lubang anus.
Pengamatan Putro (2008), semakin tinggi darah Bos taurus akan mem.buat sapi semakin rentan terhadap investasi cacing hati (fasciolasis) dan cacing porang (paramphistomiasis). Keadaan ini sangat mengurangi efisiensi pakan dan karenanya terperinci kondisi sapi yg terlalu kurus atau mempunyai SKT rendah (dibawah 2,0) dan berakibat dengan tumbulnya infertilitas metabolik. Anomali reproduksi sangat berkaitan akrab dengan rendahnya SKT dan infertilitas metabolik, terutama berbentuk hipofungsi ovaria (ovarian quiscence), sista folikel (anovulatory follicle), ovulasi tertunda (delayed ovulation) dan korpus luteum persisten (persistency of corpus luteum) dan endometritis subklinis (subclinical endometritis).
Ovulasi Tertunda (delayed ovulasi) atau birahi panjang
Salah satu fenomena yg sering terjadi ialah ovulasi tertunda (delayed ovulasi). Ovulasi tertunda (delayed ovulation), merupakan akhir defisiensi LH lebih ringan lagi. Ciri-tanda sapi yg mengalami ovulasi tertunda biasanya mempunyai waktu birahi yg lebih panjang. Normalnya sapi PO memilikiKondisi ini lebih sering dijumpai pada sapi silangan dengan Bos taurus, semakin meningkat dengan semakin tingginya angka F.
Penanganan Anomali Reproduksi Sapi Crossbreeding
Berdasarkan temuan mengenai status reproduksi sapi crossing sapi lokal X Bos taurus (Simmental dan Limousin) dengan segala permasalahannya saran untuk perbaikan efisiensi reproduksinya sebagai berikut:
1. Breeding policy untuk sapi potong perlu segera diimplementasikan, menyerupai ditetapkan dalam crossbreeding darah Bos taurus-nya jangan melebihi 75% (maksimum F2) sehabis itu disilangkan balik (backcrossing), untuk meminimumkan masalah anomali reproduksi.
2. Pakan yg mencukupi kualitas dan kuantitasnya, untuk mempertahankan SKT optimum untuk reproduksi (3,0-3,5), di samping derma obat cacing berspektrum luas untuk mengatasi cacing hati (Fasciolasis) dan cacing porang (Paramphistomiasis), paling tidak 2 kali setahun merupakan kunci bagi penanggulangan reproduksi klinis sapi crossing sapi lokal x Bos taurus.
3. Manajemen peternakan yg keliru merupakan penyebab rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi silangan, utamanya ialah defisiensi pakan, sistem perkandangan dan pengamatan birahi. Untuk itu perlu peningkatan administrasi peternakan, perbaikan pakan dan kesehatan hewan.
4. Penanganan infertilitas metabolik dan nutrisi, dengan perbaikan pakan dan perbaikan skor kondisi tubuh (Putro, 2009)
Inseminasi buatan memungkinkan aktivitas crossbreeding antara sapi betina lokal dan semen beku pejantan Bos taurus (Simmental dan Limousin). Keadaan ini menimbulkan jumlah sapi silangan F1, F2, F3 dan F4 semakin banyak dijumpai, dan semakin sulitnya ditemui sapi PO di pulau Jawa. Fakta menawarkan bahwa terjadi penurunan kinerja reproduksi dan peningkatan anomali reproduksi pada sapi-sapi indukan tersebut. Kinerja reproduksi dan anomali reproduksi pada sapi indukan silangan sanggup diperbaiki dengan peningkatan administrasi peternakan, perbaikan pakan dan kesehatan hewan.
Sumber:
Putro, Prabowo Purwono Putro. 2009. Dampak Crossbreeding Terhadap Reproduksi Induk Turunannya: Hasil Studi Klinis. Disampaikan pada Lokakarya Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia: Aplikasi dan Implikasinya terhadap Perkembangan Ternak Sapi di Indonesia, Lustrum VIII, Fsayaltas Peternakan UGM, Yogyakarta 8 Agustus 2009.
Potensi perkembangan Sapi Potong
Sapi merupakan penghasil daging utama di Indonesia. Konsumsi daging sapi mencapai 19 persen dari jumlah konsumsi daging Nasional (Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi daging sapi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 mencapai 4,1 kg/ kapita/tahun meningkat menjadi 5,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2007. Namun peningkatan konsumsi daging ini tidak diimbangi dengan peningkatan populasi ternak (ketidak seimbangan antara supply dan demand), sehingga diseimbangkan dengan impor daging sapi tiap tahun yg terus meningkat sekitar 360 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 650 ribu ton pada tahun 2008 (Luthan, 2009).
Grafik Pertumbuhan Populasi Sapi Potong,kambing dan kerbau di Indonesia pada 5 tahun terakhir,
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan
Dari table pertambahan populasi ternkan sapi potong, kambing dan juga kerbau sanggup dilihat betapa rendahnya populasi ternka sapi potong bila dibandingkan dengan jumlah populasi masyarakat Negara Indonesia, tentunya tidak memenuhi konsumsi daging perkapita pertahunnya.
Dapat juga dilihat grafik dibawah ini konsumsi daging (daging sapi, daging ayam ras/broiler, daging ayam kampung) di Indonesia perkapita secukup usang 5 tahun terakhir;
Sumber : National Sosio-Economic Survey, 2007-2013
Dari tabel konsumsi daging perkapita dalam 5 tahun terakhir sanggup dilihat perbandingan yg sangat jauh konsumsi daging ayam ras/broiler dengan daging sapi, dalam 3 tahun terakhir konsumsi perkapita daging sapi jjuga mengalami penurunan padahal bila dilihat dari kebijakan pemerintah kita sudah melsayakan ekspor daging sapi dari Australia untuk memenuhi konsumsi daging kenyataannya sangat berbeda dengan apa yg kita dapatkan dilapangan.
Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada sapi potong impor, Depertemen Pertanian kembali mencanangkan aktivitas swasembada daging pada tahun 2014 dengan melsayakan kajian mendalam melalui aktivitas ”Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi ( P2SDS )”. Kegiatan yg dilaksanakan antara lain revitalisasi aktivitas pembibitan dengan pendistribusian bibit sapi potong ke banyak sekali propinsi potensial untuk dikembangkan setips intensif. Idealnya peningkatan populasi sapi setidaknya mencapai 7 persen per tahun (Dirjen Peternakan, 2009).
Pada umumnya sapi potong yg dipelihara peternak di Negara kita ialah sapi Lokal, sapi Bali, Simental, Peranakan Ongole, Limousine, Brahman, Angus dan hasil persilangan antara Brahman dan Angus yg dikenal dengan nama Brangus.
Kondisi lahan yg kurang subur merupakan hambatan utama kurang tersedianya pakan hijauan. Keringnya lahan pertanian di suatu wilayah menimbulkan tidak semua jenis tumbuhan hijauan sanggup tumbuh subur. Sistem pertaniannya sangat bergantung pada daur iklim khususnya curah hujan. Oleh alasannya ialah lahan pertanian berupa lahan kering maka di samping bercocok tanam sebagai kegiatan utama, untuk meningkatkan pendapatan petani juga memelihara ternak (Abdurrahman et al., 1997). Pengembangan perjuangan ternak sapi potong rakyat di suatu daerah dilsayakan dengan memanfaatkan limbah pertanian mengingat penyediaan rumput dan hijauan pakan lainnya sangat terbatas. Limbah pertanian yg berasal dari limbah tumbuhan pangan yg mempunyai potensi untuk pakan ialah jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, daun ubi jalar, daun singkong dan limbah pertanian lainnya yg ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh contoh pertanian tumbuhan pangan di suatu wilayah (Febrina dan Liana 2008).
Persilangan bangsa sapi Bos indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa sapi Bos taurus (Sapi Limousin) bertujuan untuk menghasilkan sapi potong yg mempunyai reproduksi dan pertumbuhan yg bagus. Pemeliharaan sapi Persilangan Limousin lebih disukai oleh peternak alasannya ialah mempunyai tubuh yg lebih besar dan harga jual yg lebih tinggi dari sapi lokal.
Sapi Bos taurus (Limousin) mempunyai sifat reproduksi yg tinggi, ukuran tubuh besar dengan J. Ternak Tropika Vol. 12, No.2: 76-80, 2011 75 kecepatan pertumbuhan sedang hingga tinggi, sedangkan bangsa sapi Bos indicus (PO) mempunyai sifat yg kurang baik dalam hal reproduksi dan kecepatan pertumbuhannya, tetapi sifat menyusui terhadap anaknya (mothering ability) sangat bagus. Dari kelebihankelebihan yg dimiliki oleh kedua bangsa tersebut dibutuhkan bisa terekspresikan pada hasil silangannya. Persilangan yg memanfaatkan heterosis hanya sanggup meningkatkan karakteristik produksi, tetapi tidak reproduksinya.. Hal itu terlihat dari jarak beranak yg mencapai 20 bulan, ygterkait akrab dengan tingginya anestrus pasca beranak dan tingginya kawin berulang. (Astuti 2004). Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi ternak dipengaruhi oleh lima hal yaitu . sngka kebuntingan (conception rate); jarak antar kelahiran (calving interval); jarak waktu antara melahirkan hingga bunting kembali (service periode); angka kawin per kebuntingan (service per conception); angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).
Solusi yg sanggup dilsayakan yaitu dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas reproduksi dengan tips persilangan bangsa sapi Bos Indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa sapi Bos taurus (Sapi Limousin) sehingga impor sapi sanggup dikurangi. Penampilan reproduksi di peternakan rakyat setips umum masih tergolong rendah, sehingga perlu adanya penilaian reproduksi sapi potong pada paritas berbeda.
Paritas ialah tahapan seekor induk ternak melahirkan anak. Paritas pertama ialah ternak betina yg sudah melahirkan anak satu kali atau pertama. Demikian juga untuk kelahirankelahiran yg akan tiba disebut paritas kedua dan seterusnya (Hafez, 2000). Daya reproduksi ternak pada umumnya dipengaruhi terutama cukup lamakehidupan, dimana cukup usang kehidupan produktif sapi potong lebih cukup usang bila dibandingkan dengan sapi perah yaitu 10 hingga 12 tahun dengan produksi 6 hingga 8 anak. Faktor ini sangat penting bagi peternakan dan pembangunan peternakan, alasannya ialah tiap penundaan kebuntingan ternak, mempunyai dampak hemat yg sangat penting (Toelihere, 1985).
Peningkatan produktivitas sapi potong melalui aktivitas persilangan (crossbreeding) antara sapi Limousin atau Simmental dengan sapi Peranakan Ongole sudah cukup usang dilsayakan melalui sistem perkawinan inseminasi buatan (IB). Menurut Hardjosubroto (1994), tujuan utama dari persilangan ialah menggabungkan dua sifat atau lebih yg berbeda yg semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan.
Program inseminasi buatan (IB) di Indonesia sudah menghasilkan beberapa sapi potong silangan. Sapi SIMPO sebagai hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi peranakan ongole (PO) dan LIMPO sebagai hasil persilangan antara sapi Limousin dengan sapi PO, merupakan sapi silangan yg banyak disukai dan dipelihara oleh peternak rakyat. Simmental atau Limousin ialah sapi dari bangsa Bos Taaurus yg berasal dari daerah sedang (temperate zone), terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yg hambar dan tatalaksana pemeliharaan yg intensif (ASTUTI et al., 2002), dan termasuk sapi tipe besar sehingga setips genetik mempunyai laju pertumbuhan yg cepat. Sapi PO ialah termasuk bangsa Bos Indicus yg berasal dari daerah tropis, terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yg panas dan tatalaksana pemeliharaan yg ekstensif, dan termasuk sapi tipe kecil hingga sedang sehingga laju pertumbuhannya rendah hingga sedang. Oleh alasannya ialah itu, sapi SIMPO dan LIMPO setips genetik akan mewarisi sifat-sifat kedua tetuanya masing-masing sebesar 50%, yaitu diduga dibandingkan dengan sapi PO akan mempunyai potensi laju pertumbuhan lebih cepat tetapi kurang tahan terhadap imbas temperatur udara panas dan kondisi pakan terbatas.
Kenyataan di lapang, sapi SIMPO dan LIMPO yg dipelihara di peternak rakyat ada yg menawarkan performan produksi tidak lebih baik bahkan beberapa masalah justru lebih buruk dibandingkan dengan sapi PO. Performan penotip yg kurang/tidak mencerminkan potensi genotipnya ini, berdasarkan DIWYANTO (2002) diduga alasannya ialah imbas terjadinya genetic-environmental interaction.
Sapi Simpo (Simmental PO)
Keberhasilan IB untuk menghasilkan seekor pedet dikala ini cukup bervariasi, tetapi untuk beberapa tempat sudah berhasil dengan baik. Salah satu kunci keberhasilan IB adalah, sapi dipelihara setips intensif dengan tips di kandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam deteksi berahi dan memudahkan petugas untuk melakukan IB. Akan tetapi setips umum keberhasilan IB masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin alam (Subarsono, 2009).
Namun setips komprehensif laporan tentang keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetic sapi (produktivitas) hingga dikala ini belum ada. Demikian pula halnya dengan kinerja performans reproduksi sapi persilangan hasil IBpraktis belum banyak dilsayakan evaluasinya, kecuali sinyalemen yg disampaikan Putro (2009). Oleh alasannya ialah itu pelaksanaan IB harus diadaptasi dengan tujuan dan target simpulan yg akan dituju, dan dengan memperhatikan adanya interaksi genetika dan lingkungan (genotype environmet interaction, GEI). Apabila IB ditujukan untuk menghasilkan bakalan pada perjuangan cow-calf operation, maka penggunaan pejantan yg berukuran besar (misalnya: Simental maupun Limousin) hanya sanggup dilsayakan di daerah yg ketersediaan pakannya memadai.
Peternak menyukai sapi persilangan hasil IB, alasannya ialah harga jual anak jantan sangat tinggi, sedangkan sekitar 50% hasil IB ialah sapi betina yg dipergunakan sebagai replacement. Dengan kegiatan IB, sapi lokal menjelma sapi tipe besar yg membutuhkan banyak pakan. Pada kondisi sulit pakan, sapi persilangan menjadi kurus, kondisi tubuh buruk, dan berakibat menurunnya kinerja reproduksi, seperti: nilai S/C (sevice per conception) tinggi, jarak beranak panjang, dan rendahnya calf crop. Kondisi ini didani rendahnya produksi susu dan tingginya ajal pedet. Pada kondisi pemeliharaan yg baik, kinerja reproduksi sapi persilangan tetap baik.