Juragan Lele Asal Palangkaraya Kalimantan
Cerita Sukses Peternak -Dulu, lele sama sekali tak dilirik di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Konsumen menganggap ikan itu hidup di lingkungan yang kotor. Namun, Farchan Slamet (38) bersama para petani ikan mengubah stigma itu. Sekarang, ia malah kewalahan melayani usul lele.Dikisahkan Farchan, lele ditolak alasannya ialah konsumen jijik. Lele dikira dipelihara di tempat yang tak higienis. Sebagian masyarakat tempat tertentu malah menganggap lele bukan ikan.
Farchan memelihara lele semenjak tahun 2002. Namun, pandangan negatif itu menciptakan Farchan susah menjual lele. Ia memperlihatkan lele kepada penjual ikan, tapi ditolak. Farchan mengalihkan sasaran kepada pengelola warung tenda, tapi mereka pun enggan mendapatkan lele. ”Katanya, daging lele kenyal menyerupai karet. Jorok lagi. Akhirnya, saya kasih dulu lele untuk 10 warung tenda. Bayar belakangan,” ucap Farchan.
Tiap-tiap warung tenda diberi 2 kilogram (kg) lele. Itu pun hanya lima pengelola warung tenda yang setuju. ”Kalau laku, gres dilunasi. Tidak laku, tak usah bayar. Lele menyerupai tak ada harganya. Dibuang-buang,” ungkap Farhan. Ayah dari M Zuhal Alifardani (11) dan M Fathoni Putrafardani (8) itu kembali dua hari kemudian. Ternyata pengelola warung tenda justru menyodorkan usul lele tambahan.
Ia lakukan apa pun biar lele dikonsumsi lebih luas. Karena itu, ia juga merangkul petani ikan untuk membudidayakan lele. Demi menggairahkan minat petani, Farchan mempertaruhkan kelangsungan usahanya. Ia memberi jaminan, lele niscaya dibeli. ”Tapi, bila lele tak dijual, saya bangkrut. Maka, pasar harus terus dicari,” kenangnya.
Ia juga menghadapi masyarakat yang antipati terhadap lele dengan menciptakan abon dan kerupuk. Setelah memakannya, mereka dibutuhkan sanggup mengonsumsi lele. Pesanan teratur kesannya diperoleh Farchan tahun 2005 sekitar 5 kuintal per bulan dengan langganan pengelola warung tenda. Seiring dengan itu, petani ikan kawan Farchan terus bertambah sampai 300 orang ketika ini.
Kapasitas produksi lele dari Farchan dan rekan-rekannya sekitar 750 kg per minggu. Respons amat positif pada lele diindikasikan dari besarnya usul pelanggan. Lele yang dipasok Farchan gres sanggup memenuhi 25 persen dari total permintaan.
Total lele yang diminta mencapai 3 ton per minggu. Farchan menyalurkan lele kepada 35 pelanggan, mulai dari warung tenda, restoran, hotel, sampai pabrik pengalengan ikan. Di Kalteng, Farchan memasok lele ke Palangkaraya serta Kabupaten Lamandau, Kotawaringin Timur, Murung Raya, Barito Selatan, dan Gunung Mas.
Pasar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sampai Balikpapan, Kalimantan Timur, pun dirambah. Sayangnya, ujar Farchan, jalan dari Kalteng ke Kalimantan Barat belum sanggup ditembus. Ia yakin pasar Kalbar sanggup dijangkau. ”Rasio usul dan stok kini semakin jauh. Setahun lalu, konsumen minta 100 kg per bulan, misalnya, hanya diberi 50 kg. Kini, sanggup tidak sanggup sama sekali,” kata Farchan.
Prospek bagus
Prospek yang amat baik tentu menciptakan petani lele kian semangat. Harga lele di petani sekitar Rp 11.000 per kg dan di pasar Rp 20.000-Rp 25.000 per kg. ”Tinggi dibanding harga rata-rata di Jawa Rp 8.000-Rp 10.000 di petani dan Rp 13.000 per kg di pasar,” kata Farchan.
Bahkan, kini ada pembeli di Palangkaraya yang menghargai lele di tingkat petani sebesar Rp 20.000 per kg. Kini banyak masyarakat di Palangkaraya yang memelihara lele. Farchan pun tak segan mengatakan bibit sebagai stimulus. ”Kadang, saya beri 100 ekor untuk setiap petani. Saya mengatakan masukan untuk menyebarkan perjuangan biar berhasil,” ujarnya.
Risiko selalu ada. Beberapa kali pembayaran tak dilunasi. Padahal, lele sudah disebar di kolam pembeli bibit. ”Paling besar rugi tahun 2007. Dibawa kembali tak mungkin alasannya ialah bibit sanggup mati. Tapi, sesudah dilepas, kewajiban Rp 7,5 juta tak dibayar,” lanjutnya.
Fluktuasi harga lele kerap merugikan petani. Farchan berupaya mencegah risiko itu dengan menetapkan harga Rp 11.500 per kg di petani dan menjualnya Rp 14.000 per kg ke restoran. Lantaran ingin menjaga harga, tak jarang Farchan merugi.
Ia mulai mencoba menghasilkan bibit lele tahun 2008. Farchan pun mengajak petani sanggup melaksanakan langkah yang sama. ”Selain itu, sudah dua tahun belakangan saya juga menambah komoditas, yakni gurami, dan permintaannya pun banyak,” kata Farchan.
Harapan suami Isnaeni (38) yang belum tercapai ialah mengakibatkan Palangkaraya sebagai pengekspor ikan. Masih banyak lahan telantar yang sanggup dimanfaatkan. Produksi yang besar akan mendorong berdirinya industri.
Pria kelahiran Kediri, Jawa Timur, 16 Maret 1973, itu berangan-angan, produk yang dipasarkan tak hanya abon dan kerupuk, tetapi juga kalengan sampai ikan asap. ”Ekspor ikan asap. Bukan ekspor asap dari kebakaran hutan,” ucap Farchan sambil tertawa.