Friday, April 12, 2019

Sejarah Asal Permintaan Sapi So (Sumba Ongole) Dan Keunggulannya


Sapi Lokal Yang Tahan Terhadap Cuaca Ekstrim Dan Pakan Yang Kurang Berkualitas, Sapi Sumba Ongole (SO)
Asal Usul Sapi SO. Sejarah sapi jenis ongole masuk ke Indonesia berawal dari India yg dimasukkan oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Sumba pada awal kurun ke 20 atau sekitar tahun 1906-1907. Pemerintah Hindia Belanda pada awalnya memasukkan empat jenis sapi ke Pulau Sumba, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa dan sapi Ongole. Dari empat jenis sapi tersebut, ternyata hanya sapi jenis Ongole yg bisa mengikuti keadaan dengan baik dan berkembang dengan cepat walaupun di Pulau Sumba trend kemarau-nya cukup cukup lama. Kemudian sekitar tujuh tahun kemudian, pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan bahwa Pulau Sumba sebagai pusat pembibitan sapi Ongole murni. Dipasaran juga sering disebut sebagai Sapi Lokal atau Sapi Jawa atau Sapi Putih atau Rote Ongole atau Sumbawa Ongole. Sapi ini hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi betina Jawa yg berwarna putih. Sapi Ongole (Bos Indicus) bergotong-royong berasal dari India, termasuk tipe sapi pekerja dan pedaging yg disebarkan di Indonesia sebagai sapi Sumba Ongole (SO).
Sapi ongole (Bos indicus) memerankan tugas yg penting dalam sejarah sapi di Indonesia. Sapi jantan Ongole dibawa dari tempat Madras, India ke pulau Jawa, Madura dan Sumba. Di Sumba dikenal dengan sapi Sumba Ongole. Sapi Sumba Ongole (SO) dibawa ke Jawa dan dikawinkan dengan sapi asal jawa dan kemudian dikenal dengan peranakan ongole (PO) Sapi ongole dan PO baik untuk mengolah lahan alasannya tubuh besar, kuat, jinak dan bertemperamen tenang, tahan terhadap panas, dan bisa mengikuti keadaan dengan kondisi yg minim.
Setips fisik, sapi Sumba Ongole gampang sekali dikenali, alasannya mempunyai cirri-tanda sebagai berikut:
  • Warna kulit putih, disekitar kepala sedikit lebih gelap dan cenderung abu-abu
  • Postur tubuh agak panjang, leher sedikit pendek dan kaki terlihat panjang
  • Memiliki punuk besar dan bergelambir (lipatan-lipatan kulit yg terdapat dibawah leher dan perut)
  • Punuk tumbuh lurus dan berkembang baik pada ternak jantan.
  • Telinga panjang dan menggantung
  • Kepala relatif pendek dengan profil melengkung, mata besar dan tenang
  • Kulit disekitar kelopak mata berwarna hitam
  • Tanduk sapi betina lebih panjang dibandingkan sapi jantan.
  • Tinggi sapi jantan berkisar 150 cm dengan berat tubuh mencapai 600 kg. Sedangkan sapi betina mempunyai tinggi 135 cm dengan berat tubuh 450 kg.
  • Pertambahan bobot rata-rata berkisar 0.85 – 0.95 kg/hari dengan kualitas karkas 45-58%.
Alam yg keras di Sumba sebagai habitat orisinil sapi SO menyebabkan sapi ini menjadi sapi yg tahan banting, tahan dengan cuaca ekstrim dan juga pakan yg buruk (pakan dengan gizi dan kualitas buruk). Keunggulan ini menyebabkan sapi SO mulai diperhitungkan oleh para pengusaha penggemukkan sapi untuk digemukkan dengan tips yg lebih intensif dalam sebuah feedlot penggemukan sapi. Salah satu laba memelihara sapi SO yg kurus yaitu kompensatory gain nya yg sangat tinggi.

Sapi-sapi ongole asal India dimasukkan kali pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Sumba, pada awal kurun ke 20, sekitar tahun 1906-1907. Dari empat jenis sapi, yg dimasukkan ke Sumba ketika itu, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Ongole, ternyata hanya sapi Ongole yg bisa mengikuti keadaan dengan baik dan berkembang dengan cepat, di pulau yg panjang trend kemaraunya ini. Sekitar tujuh atau delapan tahun kemudian, pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan Pulau Sumba sebagai pusat pembibitan sapi Ongole murni. Upaya ini didani dengan memasukkan 42 ekor sapi ongole pejantan, berikut 496 ekor sapi ongole betina dan 70 ekor anakan ongole.


Ongole Jantan

Dalam laporan tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur (1989) tercatat, pada tahun 1915, Pulau Sumba sudah mengekspor enam ekor bibit sapi ongole pejantan. Empat tahun kemudian, pada 1919, ekspor sapi ongole dari Pulau Sumba tercatat sebanyak 254 ekor, dan pada tahun 1929, meningkat mencapai 828 ekor. Sapi-sapi asal Sumba ini pun mempunyai merek dagang, sapi Sumba Ongole (SO). Perkembangan lalu, Sumba kembali ditetapkan sebagai pusat pembibitan sapi ongole murni di masa pemerintahan Presiden Soeharto, melalui Undang- Undang Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 6 Tahun 1967. Sapi ongole memang menjadi tanda khas Pulau Sumba, terutama Sumba Timur. Selain sapi, kekhasan lain Sumba Timur yaitu padang rerumputan (sabana). Bentangan sabana kering tampak bagaikan lautan menguning. Kemarau panjang mencapai puncaknya di bulan Oktober. Kondisi alam yg menantang ini menjadi rutinitas bagi sebagian penduduk di Pulau Sumba, yg mengandalkan penghidupan mereka sebagai penggembala.

Memasuki wilayah kecamatan Pandawai, Sumba Timur, contohnya terlihat kawanan sapi berkeliaran di hamparan rerumputan kering. Sumba Timur memang berpotensi membuatkan peternakan setips ekstensif. Tidak hanya sapi, tetapi juga kuda dan kerbau, atau ternak-ternak kecil lainnya. Statistik Pertanian Sumba Timur (2003) menunjukkan, jumlah ternak sapi potong, kerbau, dan kuda di kabupaten ini mencapai 100.600 ekor. Jumlah ternak di satu kabupaten ini jauh lebih banyak dibanding jumlah ternak di Provinsi Kalimantan Timur (73.200 ekor) atau Papua (74.000 ekor). Kabupaten seluas 7.000,50 kilometer persegi ini terbagi menjadi 15 kecamatan, dan rata-rata di tiap kecamatan terdapat lebih dari 2.000 ekor ternak besar, baik sapi, kerbau, ataupun kuda. Hingga tahun 2003, di Kecamatan Pandawai tercatat terdapat lebih dari 6.000 ekor sapi, sedangkan di kecamatan Panguda Lodu menjadi kecamatan yg mempunyai ternak kuda dan kerbau terbanyak, masing-masing 6.095 ekor kuda dan 5.126 ekor kerbau.

Para pengusaha penggemukan menentukan sapi SO untuk penggemukan alasannya mempunyai beberapa laba seperti: sapi SO gampang mengikuti keadaan dengan pakan penggemukan dengan sistem koloni, sapi dalam koloni gres dalam pen akan cepat mengenal mitra dalam satu koloni, tidak banyak terjadi perkelahian antar sapi (hanya 1-2 hari). Tahap awal penggemukan dimulai dari penimbangan masing masing sapi untuk menentukan grade menurut berat badan, pen, dan sasaran pakan.

Pemberian multi vitamin dan obat cacing sangat membantu meningkatkan kecernaan pakan yg dikonversi menjadi daging. Fase pakan dibedakan menjadi 3 yaitu starter (DOF 1 – 10), grower (11-60 hari), dan Finisher (60 hari – waktu jual). Persentase hijauan tinggi pada ketika starter dan akan terus dikurangi hingga finisher/waktu jual, pakan konsentrat diberikan sebaliknya yaitu dari sedikit dan meningkat setips bertahap.

Pada awal 2008, sapi yg dikelola di feedlot mempunyai rangka yg panjang panjang dan bobot tubuh awal 400 – 600 kg (masuk dalam kelas Heavy – ekstra Heavy). Kecilnya angka penyusutan alasannya transportasi (< 2%) dan average feed intake yg selalu meningkat dari hari ke hari (2,3 % - 2,6 % dry matter intake) menghasilkan perfoma yg luar biasa. Dalam jangka waktu pemeliharaan (Days On Feed) 90 hari SO jantan, akan didapatkan kenaikan berat tubuh 1.6 – 2.0 kg / ekor/ hari, dan rata rata karkas yg dihasilkan di atas 52.5%. Para jagal dan penjual daging sangat menyukai hasil panen penggemukan SO alasannya selain % karkas tinggi juga tekstur daging yg padat, sedikit atau tanpa lemak dan kematangan daging (berwarna merah yg sangat pas untuk produksi bakso. Pada 2008 harga sapi SO jantan masih berkisar Rp. 22.500 – Rp. 23.000 dan indukan (cow) Rp. 18.000 – Rp. 19.000 /kg berat tubuh hidup. Pada ketika itu harga karkas masih sekitar Rp. 45.000,00, sehingga apabila sapi berat 400 kg (400 X Rp. 22.500 = Rp.9.000.000,00) dipotong mendapat 53% karkas (212 kg) seharga Rp. 9.540.000,00 artinya ada laba Rp. 540.000,00 / ekor bagi jagal.

Akhir selesai ini, sapi bakalan yg tiba dari Sumba relative lebih kecil kecil (250 kg) dan kondisi tubuh yg kurang ideal. Sapi dengan berat 250 – 300 kg ini termasuk dalam kategori light – ekstra light, membutuhkan waktu pemeliharaan yg lebih cukup usang yaitu di atas 120 hari. Kenaikan berat tubuh yg dihasilkan lebih rendah hanya sekitar 1.0 – 1.1 kg/ekor/hari, begitu juga karkas yg didapatkan hanya 50% saja. Makin rendahnya grade sapi bakalan yg masuk ke sangkar penggemukan mengindikasikan sudah terkurasnya sapi bakalan dengan bobot besar, meningkatnya insiden inbreeding, atau populasi ternak tidak diimbangangi jumlah pakan yg tersedia terlebih pada trend kemarau.

Semakin menurunnya kualitas sapi SO dan makin tingginya kebutuhan sapi lokal untuk bakalan penggemukan, menuntut pengusaha ternak untuk mengembangbiakan sapi SO dengan system intensif melalui perbaikan managemen pemeliharaan, perkawinan, pakan dan budidaya. Pengembangbiakan sapi SO setips intensif ditujukan untuk pemurnian dan masih memakai perkawinan alami. Sapi SO mempunyai perfoma reproduksi yg sangat baik, hasil budidaya yg kita dapatkan kebuntingan > 90 % dengan rataan perkawinan 1-2 kali, mas produktif hingga 10 tahun, jarak antar kelahiran 12 – 13 bulan. Dalam perkembangan transfer embrio, sapi SO berreaksi sangat memuaskan terhadap superovulasi pada produksi embrio menyerupai yg pernah kita lsayakan menghasilkan 20 buah embrio fertile kualitas excellent. Perfoma keturunan yg dihasilkan mencakup pertumbuhan yg lebih cepat, pada keturunan betina akan mencapai masa pubertas pada umur 13 bulan dengan berat tubuh 280 kg, dan berat tubuh indukan bis,a mencapai 500kg. Pada beberapa pengamatan pemeliharaan, sapi SO tingkat reproduksinya sangat buruk di tempat yg hirau taacuh di dataran tinggi.

Pemberian pakan untuk breeding tidak membutuhkan pakan dengan kualitas terbaik. Hal ini selain untuk memperkecil biaya untuk produksi pedet juga alasannya sapi SO mempunyai kecernaan yg baik terhadap pakan yg diberikan. Pakan untuk pemeliharaan sapi breeding yg kita berikan mencakup konsentrat 1- 3 kg ( protein berangasan 10-11 %, TDN 65% ) dan rumput lapangan atau jerami fermentasi dengan sedikit supplement vitamin E dan Selenium sudah sangat mencukupi.

Dirangkum dari banyak sekali sumber online

Sejarah Asal Permintaan Sapi So (Sumba Ongole) Dan Keunggulannya Rating: 4.5 Diposkan Oleh: abp29